Bagaimana Wajah Pendidikan Kita?
Oleh
Ahmadi*)
Pendidikan
adalah usaha manusia dalam rangka meningkatkan derajat atau kualitas kehidupan
dan kesejahteraannya, baik kualitas kehidupan jasmani maupun ruhani sehingga menjadi manusia yang sejahtera
lahir maupun batin, sejahtera dunia maupun akhirat.
Kesejahteraan
manusia dapat dicapai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
memiliki karakter atau kepribadian yang baik. Kesejahteraan manusia tidak dapat
dicapai oleh orang perorang secara individu, tetapi dapat dicapai secara
kebersamaan karena manusia tidak dapat hidup sendiri.
Pendidikan
yang berkarakter bukan berarti mengesampingkan orang lain dan
lingkungannya. Pendidikan yang
berkarakter bukan berarti pendidikan yang menjauhkan manusia dari
lingkungannya. Sebagian masyarakat mengeluhkan bahwa pendidikan yang menganut
sistem fullday school yang idealnya membuat anak pandai dan berkarakter
ternyata justru yang terjadi sebaliknya, karena output sistem tersebut
menghasilkan manusia yang jauh dari lingkungan sosialnya. Padahal pendidikan
semestinya memberikan kemampuan anak untuk dapat bersosial dengan
sebaik-baiknya.
Pendidikan
yang dilakukan sekarang anak didik dibebani dengan berbagai kegiatan baik
kurikuler, ko kurikuler maupun ekstra kurikuler yang begitu padat sehingga
waktu anak untuk bersosial sangat sedikit, tidak sedikit anak yang berani
dengan orang tuanya karena sejak kecil tidak dekat dan kurang mendapatkan kasih
sayang orang tuanya.
Orang
tua hanya memberikan kepada anaknya materi, tetapi anak kurang mendapatkan
kasih sayang. Banyak remaja kita yang terlibat dengan tindak kenakalan ataupun
bahkan kriminal, mereka seakan tidak dapat membedakan salah atau benar, baik
atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebanyakan anak kita sekarang ini
bertindak menurut apa yang mereka inginkan. Lihat saja, kebiasaan berlalu
lintas yang semrawut, buang sampah sembarangan, banyaknya geng motor yang
sering membuat ulah, prestasi olah raga yang minim, terjadinya tawuran suporter
olah raga dan sebagainya.
Lalu
apa yang salah dengan pendidikan kita, mestinya hal ini menjadi pemikiran kita
bersama dan langkah-langkah apa yang semestinya ditempuh?
Pendidikan seharusnya
memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi guru untuk mentransfer baik ilmu
pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan
Guru memiliki peran sentral
dalam dunia pendidikan, karena guru digaji untuk melaksanakan tugas mendidik.
Tetapi seiring dengan kemajuan berbagai bidang termasuk bidang pendidikan
sering dipahami secara keliru. Saat ini seorang guru memiliki tanggung jawab
yang begitu besar tidak hanya sebagai guru, tetapi sebagai pegawai juga
memiliki tugas demikian berat. Guru saat ini dibebani dengan berbagai macam
administrasi serta beban untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensinya,
sehingga secara tidak sengaja atau secara tidak langsung akan mengurangi
kualitas pendidikan atau pengajaran yang diberikan kepada anak didik. Banyak
guru yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Tidak sedikit guru-guru yang dianggap berprestasi justru mengabaikan
hak-hak anak mendapatkan pendidikan, karena guru tersebut sibuk menyelesaikan
administrasi, sibuk mengikuti pelatihan, sibuk mengurusi organisasi karena
sebagai ketua MGMP misalnya, atau bahkan mengikuti seminar mulai tingkat lokal,
regional atau bahkan tingkat internasional. Jika telah sampai waktunya memberi
nilai, sering terjadi nilai yang diberikan tidak menunjukkan kemampuan seorang
anak, bahkan ketika lulusanpun sering terjadi hanya rekayasa nilai. Jika
dilakukan survey mungkin banyak sekarang nilai-nilai yang hanya sekedar nilai
atau populernya bagi guru “NGAJI/ngarang biji”. Guru diberi beban berbagai hal
termasuk tekanan agar anak didik harus lulus semua, hal ini sesuatu yang tidak
mungkin, karena secara alami ada anak yang pandai juga ada anak yang kurang
pandai serta anak yang tidak pandai. Yang terjadi karena semua harus lulus,
maka nilai dikatrol sedemikian rupa sehingga semua anak lulus, hal ini tentu
untuk kepentingan ke depan sangat tidak baik, apalagi jika output tersebut kedepan
memegang amanah jabatan, karena sebenarnya tidak mampu dianggap mampu
berdasarkan ijazah, padahal nilai yang ada tidak dapat menggambarkan kemampuan
sebenarnya. Karena sejak mulai dari dalam pendidikan sendiri terjadi manipulasi
nilai, apa yang akan terjadi selanjutnya kita semua yang menanggungnya. Tidak
salah jika kemudian seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
sesuatu, karena dianggapnya segala sesuatu dapat dibeli. Tidak lagi rahasia
jika seseorang mendapatkan pekerjaan atau jabatan dengan menggunakan uang,
bahkan secara terbuka seseorang bisa menjadi lurah, dukuh, anggota DPR, bupati
yang terjerat hukum karena menggunakan politik uang tetapi banyak juga yang
menyiasati, sehingga lepas dari jeratan hukum.
Seharusnya kurikulum juga
terdapat muatan yang memungkinkan guru menunjukkan rasa kasih sayangnya
terhadap anak didik, kurikulum seharusnya memberikan muatan yang memungkin anak
didik untuk berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, sehingga ke depan
anak didik memiliki empati dan sosial yang tinggi, anak didik dan guru jangan
hanya disibukkan melaksanakan pembelajaran dalam ruang kelas yang tertutup yang
menjadikan anak memiliki pribadi yang ekslusif, yang merasa paling pintar,
paling baik sehingga merasa tidak butuh orang lain, atau bahkan sering membuat
anarkisme di masyarakat.
Pendidikan berkarakter bukan
sekedar muatan kurikulum, tetapi sistemnya yang berkarakter
Pendidikan yang berkarakter
sering didengung-dengungkan, tetapi ternyata masih berkutat di dalam muatan
kurikulum. Pendidikan yang berkarakter semestinya membangun sistem pendidikan
yang berkarakter, mulai dari kurikulum, pendidik, tenaga pendidik, lingkungan
pendidikan, juga menyangkut kepemimpinan negara yang berkarakter karena akan
menjadi pembenaran bagi semua elemen masyarakat. Pemimpin yang berkarakter akan
menjadi teladan bagi warganya.
Dalam dunia pendidikan sistem
evaluasi yang diselenggarakan juga belum memiliki karakter yang menjunjung
tinggi kejujuran, dan hanya membuat tugas guru bersifat stagnan. Semestinya guru
hanya dibebani mendidik atau mengajar. Sedangkan evaluasi semestinya melibatkan
pihak ketiga mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan demikian
hasil atau output pendidikan betul-betul menguasai materi yang didapatkan dari
proses pendidikan. Jika guru diberi
tugas memberikan evaluasi atau nilai, maka nilai tersebut masih bersifat
subyektif. Sering muncul juga like and dislike sering terjadi anak yang
sebenarnya pandai, hanya karena tidak disukai mendapat nilai buruk. Sebaliknya
anak yang sebenarnya tidak menguasai materi, tetapi karena disukai gurunya maka
mendapat nilai bagus.
Nilai akan didapat obyektif
jika dilakukan oleh pihak ketiga atau orang yang tidak berkepentingan.
Penilaian yang seperti ini akan lebih menjujung obyektifitas dan kejujuran. Hal
inilah yang dapat membangun pendidikan yang berkarakter sebenarnya. Di samping
itu guru akan berusaha semaksimal mungkin sehingga anak didik akan memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan persoalan. Nilai adalah sebuah penghargaan bagi
anak didik yang bisa, bukan bagi anak didik yang tidak mampu menyelesaikan
persoalan. Sehingga jika hal ini membangun karakter anak didik yang benar.
Berbeda jika yang memberi nilai
gurunya sendiri, maka yang terjadi nilai hanya sekedar formalitas. Guru akan
memberi nilai yang baik atau lulus atau di atas KKM. Sebab hal ini menyangkut
kapabilitas dan penilaian guru, guru akan dianggap tidak sukses jika anak
didiknya nilainya jelek, atau dianggap guru tidak bisa memberi nilai, bahkan
bisa dianggap tidak memiliki kompetensi mengajar. Padahal nilai buruk bisa
berasal dari: mungkin kemampuan anak memang kurang, mungkin guru tidak
menguasai materi, atau cara mengajar guru kurang tepat, bisa juga lingkungan
yang kurang kondusif dalam proses pembelajaran, atau penyebab lainnya.
Jika nilai atau evaluasi
dilakukan pihak ketiga, maka guru akan berusaha dengan semaksimal mungkin anak
didiknya agar mampu menguasai materi, akan berkreasi tentunya yang positif
sehingga anak didiknya mampu menguasai materi. Inilah pendidikan yang berkarakter
sebenarnya.
Sekali lagi, jika penilaian
diserahkan kepada gurunya sendiri, maka akan terjadi kebohongan publik, karena
anak didik yang sebenarnya tidak mampu diberi nilai bagus. Hal ini tentu ke
depan akan berbahaya. Apalagi jika anak didik berusaha membeli nilai, maka ke
depan kita hanya menanam benih-benih ketidakjujuran, keburukan di masa
mendatang. Lalu tanggung jawab siapa untuk membenahi sistem dari pendidikan
kita, khususnya sistem penilaian ini?
Pendidikan seharusnya
memberikan kenyamanan bagi anak didik dengan penguasaan ilmu pengetahuan (soft
skill) serta meningkatnya kemampuan dan ketrampilan menjalani hidup (life
skill) serta kenyamanan dan kepastian masa depan
Pendidikan kita saat
ini sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tetapi apakah
pendidikan yang dilakukan harus menjadi beban bagi anak-anak kita. Pendidikan
atau sekolah dalam hal ini ada juga yang seperti beban berat bagi orang tua
atau anak didik atau bahkan bagi guru. Pendidikan semestinya memberikan
kenyamanan bagi orang tua, anak didik, dan pelaku pendidikan. Semestinya anak dibuat nyaman dan senang
dengan apa yang dipelajarinya. Sering terjadi anak takut mengikuti pelajaran
tertentu karena takut gurunya, takut tidak bisa, takut mendapat nilai yang
kurang dsb. Anak didik seperti ini tidak nyaman melaksanakan pembelajaran,
sehingga hasil yang didapatpun tidak maksimal. Seringkali guru lupa menjelaskan
tujuan dari pembelajaran yang dilakukan untuk kepentingan masa depan, sehingga
anakpun belajar tanpa arah yang jelas. Misalnya anak belajar matematika untuk
apa jika dia menguasai matematika atau hanya sekedar mendapat nilai lulus dan
mendapat ijazah? Oleh karena itu setiap guru harus menguasai filosofi setiap
materi yang diajarkan, atau memang gurunya sendiri tidak memahami filosofi
materi pelajaran dan kebutuhan di masa depan, sehingga anak merasa tidak
penting mempelajari sebuah materi pelajaran.
Setiap anak didik
seharusnya diberi pemahaman tentang kebutuhan di masa depan, serta untuk apa
materi yang diajarkan guru. Dengan demikian anak akan semangat dan senang
mempelajari sebuah materi pembelajaran.
Pendidikan seharusnya
menjadi sarana penanaman karakter dan kepribadian yang baik bagi anak didik.
Jika kita melihat pola
tingkah laku anak-anak kita, terutama remaja kita. Kita akan merasakan
kengerian. Di bebarapa kasus ada kekerasan yang dilakukan anak-anak bahkan
dalam usia SD sudah melakukan tindakan kekerasan sampai mengakibatkan korban
jiwa, bahkan ada yang terjadi di sekolah, anehnya lagi gurunya sendiri
menyaksikan. Lalu apa yang salah dengan pendidikan kita. Menanamkan karakter
atau membentuk kepribadian yang baik adalah tugas kita bersama baik guru,
pemerintah, tokoh masyarakat juga penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya.
Sekolah sebagai leading
sektor pendidikan seharusnya mendapatkan perhatian kita semua. Baik perhatian
berupa anggaran maupun sistem yang dijalankannya.
Karakter anak didik
tidak hanya dibentuk di sekolah saja, tetapi oleh seluruh sistem pendidikan
yang ada baik di sekolah, masyarakat, keluarga. Karakter juga tidak hanya
dibentuk oleh guru, orang tua, masyarakat, tetapi juga oleh pimpinan negara
mulai tingkat paling bawah, sampai tingkat paling tinggi, karena pimpinan
negara akan menjadi contoh dan tolok ukur warga negaranya. Jika pimpinan banyak
buruk, banyak korupsi, suka berselisih, maka hal ini akan menjadi pembenaran
bagi masyarakatnya. Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai kepribadian yang
baik sesuatu yang mutlak dilakukan secara simultan berbagai elemen masyarakat.
Pendidikan seharusnya
memberikan ruang yang cukup kepada anak didik untuk berkreasi.
Untuk memajukan
masyarakat, negara dan bangsa, tentu saja membutuhkan orang-orang yang memiliki
kreatifitas yang tinggi. Manusia yang memiliki kreatifitas tidak muncul dengan
sendirinya, tetapi harus muncul melalui pendidikan. Sering kali anak-anak muda
kita berkreatifitas, tetapi kreatifitas yang tumbuh di luar dunia mendidikan,
tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan, misalnya terjadinya coret-coret di
jalan, di tembok-tembok, bahkan saat ini hampir di setiap tembok di pinggir
jalan tidak selamat dari vandalisme. Hal ini tentu saja menunjukkan kepribadian
yang buruk, bahkan situs bersejarahpun kadang tidak selamat dari corat-coret.
Kreasi yang demikian tentu sangat membahayakan di masa depan kita. Tidak ada
slogan-slogan yang mengajak kebaikan dari vandalisme.
Kreatifitas yang
dibutuhkan bagi bangsa kita ke depan adalah bagaimana bangsa kita menguasai
teknologi di segala sektor yang membawa dapat pada derajat kemakmuran kita
bersama. Bagaimana menciptakan energi yang ramah lingkungan, bagaimana
menciptakan pertanian yang menjadikan negara tidak tergantung dengan negara
lain atau setidaknya mengurangi ketergantungan dari negara lain.
Pendidikan seharusnya
mendorong kreatfitas berbagai bidang dengan memberikan stimulan dan penghargaan
yang tinggi kepada orang-orang yang memiliki kreatifitas tinggi. Pendidikan mestinya
menumbuhkan orang-orang yang memiliki kreatifitas, bukan hanya sekedar
menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang akhirnya hanya menjadi robot sebuah
sistem, tetapi menghasilkan orang-orang yang mampu memperbaiki dan
mengembangkan suatu sistem.
Pendidikan seharusnya pembekalan
dan pembiasaan anak didik untuk dapat hidup bersosial dan bermasyarakat dengan
sebaik-baiknya, bukan justru menjauhkan anak dari masyarakatnya.
Kehidupan sosial yang
baik, membutuhkan rekayasa sosial. Kehidupan sosial masyarakat jika dibiarkan
cenderung akan terjadi berbagai kerusakan. Sesuatu yang baik di masyarakat
membutuhkan usaha yang keras baik berupa penyuluhan dan terutama pendidikan
yang dilakukan oleh dunia pendidikan. Pendidikan harus laksanakan sehingga
masyarakat khususnya anak-anak kita memiliki kebiasaan yang baik.
Kebiasaan-kebiasaan yang baik dimulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat
harus ditumbuhkan serta dijaga, hukum yang ada juga harus melindungi
kebiasaan-kebiasaan yang baik dan memberikan hukuman kebiasaan-kebiasaan yang
buruk.
Sekolah sebagai media
pembiasaan kepribadian yang baik juga harus memberikan penghargaan dan hukuman,
sehingga anak didik kita terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Sejak
dini semestinya anak didekatkan dengan masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan yang
baik, sehingga kebiasaan yang baik menjadi bagian dari kepribadian anak didik
kita. Oleh karena itu menjauhkan anak dengan masyarakatkan sangatlah keliru
dari sisi pendidikan karena pada akhirnya mereka akan terjun di masyarakat.
Dengan mendekatkan anak dengan masyarakat makan anak akan menjadi bagian dari
masyarakat dalam hal kebiasan yang baik.
Masyarakat yang kurang
baik tentu saja akan mempengaruhi kepribadian anak kita, maka kebiasaan buruk
yang ada di masyarakat harus kita jauhkan dari anak-anak kita. Oleh karena itu
orang tua harus memilihkan masyarakat yang menjadikan anak menjadi baik.
Di samping itu
kedekatan anak dengan masyarakat juga akan membangun hubungan sosial, yang ke
depan hal ini sangat dibutuhkan karena manusia pada prinsipnya tidak dapat
hidup sendiri. Hal ini akan memberi dampak positif kepada anak kita ke depan,
sehingga anak-anak kita tidak membuat kerugian masyarakatnya, karena dia juga
membutuhkan masyarakat, anak kita tidak bersikap egois semaunya sendiri,
menangnya sendiri. Anak-anak yang dijauhkan dari masyarakatnya cenderung akan
bersikap apatis, merasa tidak butuh orang lain, sehingga diapun tidak suka
membantu orang lain, kadang yang keliru adalah orang yang lebih senang bergaul
dengan orang yang jauh, justru tidak bergaul dengan masyarakatnya sendiri,
padahal jika terjadi sesuatu masyarakat lingkungan sendiri yang dibutuhkan.
Bahkan di kehidupan modern saat ini banyak rumah-rumah yang berpagar tinggi,
rapat, bahkan diberi pecahan kaca, kawat berduri, satpam dan sebagainya. Hal
ini dimaksudkan untuk melindungi kejahatan, tetapi di sisi lain juga akan
menimbulkan penilaian bahwa rumah sekitarnya tidak aman, atau mencurigai
lingkungannya sendiri. Hal ini tentu tidak baik jika dilihat dari sisi hubungan
sosial masyarakat.
Yang lebih ngeri saat
ini banyak dunia pendidikan kita juga begitu, sangat bangganya sekolah memiliki
regol yang kuat dijaga satpam yang serem. Justru banyak terjadi kejahatan yang
dilakukan di dalam sekolah, yang masyarakat tidak dapat memantau karena berpagar
tinggi dan dijaga dengan ketat, siapa yang rugi? Tentu anak didik dan
orangtuanya, dan tentu saja hal ini juga melindungi kejahatan jika terjadi
karena masyarakat secara umum tidak mampu melakukan pengawasan tentang apa yang
terjadi di dalamnya.
Tata kelola pendidikan
jangan hanya mengejar idealisme semu, dimana guru diwajibkan berbagai macam
administrasi, seminar, dsb yang justru mengurangi hak anak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
Guru
sebagai pendidik memiliki tugas utama mendidik anak didik. Saat ini tugas guru
bertambah apalagi dengan adanya kebijakan sertiifikasi dan adanya Penilaian
Kinerja Guru yang sedemikian rupa. Guru memikirkan anak didik saja sudah beban
sedemikian berat, apalagi ditambah dengan beban administrasi. Guru menjadi bercabang
pemikirannya. Satu sisi dia harus berpikir bagaimana anak didiknya memahami apa
yang diajarkan di sisi lain guru dipusingkan oleh kewajiban administrasinya.
Guru yang sudah berumur yang kurang dalam penguasaan IT hal ini tentu saja
menjadi beban yang berat. Di sisi lain sebagaian guru ada yang mengejar
administrasi sehingga mendapatkan nilai yang bagus dari sisi administrasi
tetapi guru sering meninggalkan tugasnya mengajar, karena sibuk dengan
urusannya sendiri, tentu hal ini mengurangi hak anak mendapatkan pendidikan.
Anak didik sering ditinggalkan dan hanya
diberi tugas. Apalagi dengan kurikulum 2013, ada orangtua murid yang mengeluh
karena setiap hari selesai sekolah selalu ditanyai anaknya perihal pelajaran di
sekolah, bagi orangtua yang berpendidikan tentu tidak masalah, tetapi bagi
orangtua yang tidak berpendidikan tentu menjadi masalah, terutama bagi
anak-anak SD. Dengan kurikulum terbaru anak disibukkan dengan berbagai tugas
dari berbagai mata pelajaran, tentu saja hal ini akan menguras fisik dan mental
anak. Anak yang seharusnya mendapatkan penjelasan dari gurunya diharapkan dapat
menemukan sendiri. Anak-anak kita seperti dianggap orang dewasa yang mampu
memecahkan masalahnya sendiri. Kita sebagai orang dewasa sekalipun sering kali
mengalami berbagai kesulitan jika menghadapi masalah, apalagi anak-anak kita.
Lalu model apakah pendidikan yang seharusnya diterapkan tentu hal ini menjadi
pemikiran terus para ahli sehingga ditemukan model pendidikan yang tepat bagi
anak-anak kita.
Kesimpulan
1.
Pendidikan
seharusnya memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi guru untuk mentransfer
baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan.
2.
Pendidikan
berkarakter bukan sekedar muatan kurikulum, tetapi sistemnya yang berkarakter
3.
Pendidikan
seharusnya memberikan kenyamanan bagi anak didik dengan penguasaan ilmu
pengetahuan (soft skill) serta meningkatnya kemampuan dan ketrampilan menjalani
hidup (life skill) serta kenyamanan dan kepastian masa depan.
4.
Pendidikan
seharusnya menjadi alat penanaman karakter dan kepribadian yang baik bagi anak
didik.
5.
Pendidikan
seharusnya memberikan ruang yang cukup kepada anak didik untuk berkreasi.
6.
Pendidikan
seharusnya membekali dan pembiasaan anak didik untuk dapat hidup bersosial dan
bermasyarakat dengan sebaik-baiknya, bukan justru menjauhkan anak dari
masyarakatnya.
7.
Tata
kelola pendidikan jangan hanya mengejar idealisme semu, dimana guru diwajibkan
berbagai macam administrasi, seminar, dsb yang justru mengurangi hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak.
Saran
1.
Dunia
pendidikan harus terus berbenah sehingga mendapatkan mutu pendidikan yang
diharapkan.
2.
Evaluasi
secara menyeluruh mulai dari sistem pendidikan, sampai output yang dihasilkan
harus dilakukan.
3.
Banyak
tindak kriminal yang terjadi mestinya menjadi bahan perbaikan pendidikan yang
ada.
4.
Kita
semua tidak boleh apatis, atau menyerahkan pendidikan di sekolah, atau hanya di
perguruan tinggi saja, seakan-akan mendidik hanya tugas sekolah saja.
*) Penulis
adalah muballigh/Guru Ngaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar