Minggu, 02 November 2014

Pendidikan



Bagaimana Wajah Pendidikan Kita?
Oleh Ahmadi*)



Pendidikan adalah usaha manusia dalam rangka meningkatkan derajat atau kualitas kehidupan dan kesejahteraannya, baik kualitas kehidupan jasmani  maupun ruhani sehingga menjadi manusia yang sejahtera lahir maupun batin, sejahtera dunia maupun akhirat.
Kesejahteraan manusia dapat dicapai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki karakter atau kepribadian yang baik. Kesejahteraan manusia tidak dapat dicapai oleh orang perorang secara individu, tetapi dapat dicapai secara kebersamaan karena manusia tidak dapat hidup sendiri.
Pendidikan yang berkarakter bukan berarti mengesampingkan orang lain dan lingkungannya.  Pendidikan yang berkarakter bukan berarti pendidikan yang menjauhkan manusia dari lingkungannya. Sebagian masyarakat mengeluhkan bahwa pendidikan yang menganut sistem fullday school yang idealnya membuat anak pandai dan berkarakter ternyata justru yang terjadi sebaliknya, karena output sistem tersebut menghasilkan manusia yang jauh dari lingkungan sosialnya. Padahal pendidikan semestinya memberikan kemampuan anak untuk dapat bersosial dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan yang dilakukan sekarang anak didik dibebani dengan berbagai kegiatan baik kurikuler, ko kurikuler maupun ekstra kurikuler yang begitu padat sehingga waktu anak untuk bersosial sangat sedikit, tidak sedikit anak yang berani dengan orang tuanya karena sejak kecil tidak dekat dan kurang mendapatkan kasih sayang orang tuanya.
Orang tua hanya memberikan kepada anaknya materi, tetapi anak kurang mendapatkan kasih sayang. Banyak remaja kita yang terlibat dengan tindak kenakalan ataupun bahkan kriminal, mereka seakan tidak dapat membedakan salah atau benar, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Kebanyakan anak kita sekarang ini bertindak menurut apa yang mereka inginkan. Lihat saja, kebiasaan berlalu lintas yang semrawut, buang sampah sembarangan, banyaknya geng motor yang sering membuat ulah, prestasi olah raga yang minim, terjadinya tawuran suporter olah raga dan sebagainya.
Lalu apa yang salah dengan pendidikan kita, mestinya hal ini menjadi pemikiran kita bersama dan langkah-langkah apa yang semestinya ditempuh?

Pendidikan seharusnya memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi guru untuk mentransfer baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan
Guru memiliki peran sentral dalam dunia pendidikan, karena guru digaji untuk melaksanakan tugas mendidik. Tetapi seiring dengan kemajuan berbagai bidang termasuk bidang pendidikan sering dipahami secara keliru. Saat ini seorang guru memiliki tanggung jawab yang begitu besar tidak hanya sebagai guru, tetapi sebagai pegawai juga memiliki tugas demikian berat. Guru saat ini dibebani dengan berbagai macam administrasi serta beban untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensinya, sehingga secara tidak sengaja atau secara tidak langsung akan mengurangi kualitas pendidikan atau pengajaran yang diberikan kepada anak didik. Banyak guru yang sibuk dengan dirinya sendiri.  Tidak sedikit guru-guru yang dianggap berprestasi justru mengabaikan hak-hak anak mendapatkan pendidikan, karena guru tersebut sibuk menyelesaikan administrasi, sibuk mengikuti pelatihan, sibuk mengurusi organisasi karena sebagai ketua MGMP misalnya, atau bahkan mengikuti seminar mulai tingkat lokal, regional atau bahkan tingkat internasional. Jika telah sampai waktunya memberi nilai, sering terjadi nilai yang diberikan tidak menunjukkan kemampuan seorang anak, bahkan ketika lulusanpun sering terjadi hanya rekayasa nilai. Jika dilakukan survey mungkin banyak sekarang nilai-nilai yang hanya sekedar nilai atau populernya bagi guru “NGAJI/ngarang biji”. Guru diberi beban berbagai hal termasuk tekanan agar anak didik harus lulus semua, hal ini sesuatu yang tidak mungkin, karena secara alami ada anak yang pandai juga ada anak yang kurang pandai serta anak yang tidak pandai. Yang terjadi karena semua harus lulus, maka nilai dikatrol sedemikian rupa sehingga semua anak lulus, hal ini tentu untuk kepentingan ke depan sangat tidak baik, apalagi jika output tersebut kedepan memegang amanah jabatan, karena sebenarnya tidak mampu dianggap mampu berdasarkan ijazah, padahal nilai yang ada tidak dapat menggambarkan kemampuan sebenarnya. Karena sejak mulai dari dalam pendidikan sendiri terjadi manipulasi nilai, apa yang akan terjadi selanjutnya kita semua yang menanggungnya. Tidak salah jika kemudian seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, karena dianggapnya segala sesuatu dapat dibeli. Tidak lagi rahasia jika seseorang mendapatkan pekerjaan atau jabatan dengan menggunakan uang, bahkan secara terbuka seseorang bisa menjadi lurah, dukuh, anggota DPR, bupati yang terjerat hukum karena menggunakan politik uang tetapi banyak juga yang menyiasati, sehingga lepas dari jeratan hukum.
Seharusnya kurikulum juga terdapat muatan yang memungkinkan guru menunjukkan rasa kasih sayangnya terhadap anak didik, kurikulum seharusnya memberikan muatan yang memungkin anak didik untuk berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, sehingga ke depan anak didik memiliki empati dan sosial yang tinggi, anak didik dan guru jangan hanya disibukkan melaksanakan pembelajaran dalam ruang kelas yang tertutup yang menjadikan anak memiliki pribadi yang ekslusif, yang merasa paling pintar, paling baik sehingga merasa tidak butuh orang lain, atau bahkan sering membuat anarkisme di masyarakat.

Pendidikan berkarakter bukan sekedar muatan kurikulum, tetapi sistemnya yang berkarakter
Pendidikan yang berkarakter sering didengung-dengungkan, tetapi ternyata masih berkutat di dalam muatan kurikulum. Pendidikan yang berkarakter semestinya membangun sistem pendidikan yang berkarakter, mulai dari kurikulum, pendidik, tenaga pendidik, lingkungan pendidikan, juga menyangkut kepemimpinan negara yang berkarakter karena akan menjadi pembenaran bagi semua elemen masyarakat. Pemimpin yang berkarakter akan menjadi teladan bagi warganya.
Dalam dunia pendidikan sistem evaluasi yang diselenggarakan juga belum memiliki karakter yang menjunjung tinggi kejujuran, dan hanya membuat tugas guru bersifat stagnan. Semestinya guru hanya dibebani mendidik atau mengajar. Sedangkan evaluasi semestinya melibatkan pihak ketiga mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan demikian hasil atau output pendidikan betul-betul menguasai materi yang didapatkan dari proses pendidikan.  Jika guru diberi tugas memberikan evaluasi atau nilai, maka nilai tersebut masih bersifat subyektif. Sering muncul juga like and dislike sering terjadi anak yang sebenarnya pandai, hanya karena tidak disukai mendapat nilai buruk. Sebaliknya anak yang sebenarnya tidak menguasai materi, tetapi karena disukai gurunya maka mendapat nilai bagus.
Nilai akan didapat obyektif jika dilakukan oleh pihak ketiga atau orang yang tidak berkepentingan. Penilaian yang seperti ini akan lebih menjujung obyektifitas dan kejujuran. Hal inilah yang dapat membangun pendidikan yang berkarakter sebenarnya. Di samping itu guru akan berusaha semaksimal mungkin sehingga anak didik akan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan. Nilai adalah sebuah penghargaan bagi anak didik yang bisa, bukan bagi anak didik yang tidak mampu menyelesaikan persoalan. Sehingga jika hal ini membangun karakter anak didik yang benar.
Berbeda jika yang memberi nilai gurunya sendiri, maka yang terjadi nilai hanya sekedar formalitas. Guru akan memberi nilai yang baik atau lulus atau di atas KKM. Sebab hal ini menyangkut kapabilitas dan penilaian guru, guru akan dianggap tidak sukses jika anak didiknya nilainya jelek, atau dianggap guru tidak bisa memberi nilai, bahkan bisa dianggap tidak memiliki kompetensi mengajar. Padahal nilai buruk bisa berasal dari: mungkin kemampuan anak memang kurang, mungkin guru tidak menguasai materi, atau cara mengajar guru kurang tepat, bisa juga lingkungan yang kurang kondusif dalam proses pembelajaran, atau penyebab lainnya.
Jika nilai atau evaluasi dilakukan pihak ketiga, maka guru akan berusaha dengan semaksimal mungkin anak didiknya agar mampu menguasai materi, akan berkreasi tentunya yang positif sehingga anak didiknya mampu menguasai materi. Inilah pendidikan yang berkarakter sebenarnya.
Sekali lagi, jika penilaian diserahkan kepada gurunya sendiri, maka akan terjadi kebohongan publik, karena anak didik yang sebenarnya tidak mampu diberi nilai bagus. Hal ini tentu ke depan akan berbahaya. Apalagi jika anak didik berusaha membeli nilai, maka ke depan kita hanya menanam benih-benih ketidakjujuran, keburukan di masa mendatang. Lalu tanggung jawab siapa untuk membenahi sistem dari pendidikan kita, khususnya sistem penilaian ini?

Pendidikan seharusnya memberikan kenyamanan bagi anak didik dengan penguasaan ilmu pengetahuan (soft skill) serta meningkatnya kemampuan dan ketrampilan menjalani hidup (life skill) serta kenyamanan dan kepastian masa depan
Pendidikan kita saat ini sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tetapi apakah pendidikan yang dilakukan harus menjadi beban bagi anak-anak kita. Pendidikan atau sekolah dalam hal ini ada juga yang seperti beban berat bagi orang tua atau anak didik atau bahkan bagi guru. Pendidikan semestinya memberikan kenyamanan bagi orang tua, anak didik, dan pelaku pendidikan.  Semestinya anak dibuat nyaman dan senang dengan apa yang dipelajarinya. Sering terjadi anak takut mengikuti pelajaran tertentu karena takut gurunya, takut tidak bisa, takut mendapat nilai yang kurang dsb. Anak didik seperti ini tidak nyaman melaksanakan pembelajaran, sehingga hasil yang didapatpun tidak maksimal. Seringkali guru lupa menjelaskan tujuan dari pembelajaran yang dilakukan untuk kepentingan masa depan, sehingga anakpun belajar tanpa arah yang jelas. Misalnya anak belajar matematika untuk apa jika dia menguasai matematika atau hanya sekedar mendapat nilai lulus dan mendapat ijazah? Oleh karena itu setiap guru harus menguasai filosofi setiap materi yang diajarkan, atau memang gurunya sendiri tidak memahami filosofi materi pelajaran dan kebutuhan di masa depan, sehingga anak merasa tidak penting mempelajari sebuah materi pelajaran.
Setiap anak didik seharusnya diberi pemahaman tentang kebutuhan di masa depan, serta untuk apa materi yang diajarkan guru. Dengan demikian anak akan semangat dan senang mempelajari sebuah materi pembelajaran.

Pendidikan seharusnya menjadi sarana penanaman karakter dan kepribadian yang baik bagi anak didik.
Jika kita melihat pola tingkah laku anak-anak kita, terutama remaja kita. Kita akan merasakan kengerian. Di bebarapa kasus ada kekerasan yang dilakukan anak-anak bahkan dalam usia SD sudah melakukan tindakan kekerasan sampai mengakibatkan korban jiwa, bahkan ada yang terjadi di sekolah, anehnya lagi gurunya sendiri menyaksikan. Lalu apa yang salah dengan pendidikan kita. Menanamkan karakter atau membentuk kepribadian yang baik adalah tugas kita bersama baik guru, pemerintah, tokoh masyarakat juga penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya.
Sekolah sebagai leading sektor pendidikan seharusnya mendapatkan perhatian kita semua. Baik perhatian berupa anggaran maupun sistem yang dijalankannya.
Karakter anak didik tidak hanya dibentuk di sekolah saja, tetapi oleh seluruh sistem pendidikan yang ada baik di sekolah, masyarakat, keluarga. Karakter juga tidak hanya dibentuk oleh guru, orang tua, masyarakat, tetapi juga oleh pimpinan negara mulai tingkat paling bawah, sampai tingkat paling tinggi, karena pimpinan negara akan menjadi contoh dan tolok ukur warga negaranya. Jika pimpinan banyak buruk, banyak korupsi, suka berselisih, maka hal ini akan menjadi pembenaran bagi masyarakatnya. Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu penanaman nilai-nilai kepribadian yang baik sesuatu yang mutlak dilakukan secara simultan berbagai elemen masyarakat.

Pendidikan seharusnya memberikan ruang yang cukup kepada anak didik untuk berkreasi.
Untuk memajukan masyarakat, negara dan bangsa, tentu saja membutuhkan orang-orang yang memiliki kreatifitas yang tinggi. Manusia yang memiliki kreatifitas tidak muncul dengan sendirinya, tetapi harus muncul melalui pendidikan. Sering kali anak-anak muda kita berkreatifitas, tetapi kreatifitas yang tumbuh di luar dunia mendidikan, tentu saja hal ini sangat mengkhawatirkan, misalnya terjadinya coret-coret di jalan, di tembok-tembok, bahkan saat ini hampir di setiap tembok di pinggir jalan tidak selamat dari vandalisme. Hal ini tentu saja menunjukkan kepribadian yang buruk, bahkan situs bersejarahpun kadang tidak selamat dari corat-coret. Kreasi yang demikian tentu sangat membahayakan di masa depan kita. Tidak ada slogan-slogan yang mengajak kebaikan dari vandalisme.
Kreatifitas yang dibutuhkan bagi bangsa kita ke depan adalah bagaimana bangsa kita menguasai teknologi di segala sektor yang membawa dapat pada derajat kemakmuran kita bersama. Bagaimana menciptakan energi yang ramah lingkungan, bagaimana menciptakan pertanian yang menjadikan negara tidak tergantung dengan negara lain atau setidaknya mengurangi ketergantungan dari negara lain.
Pendidikan seharusnya mendorong kreatfitas berbagai bidang dengan memberikan stimulan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang memiliki kreatifitas tinggi. Pendidikan mestinya menumbuhkan orang-orang yang memiliki kreatifitas, bukan hanya sekedar menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang akhirnya hanya menjadi robot sebuah sistem, tetapi menghasilkan orang-orang yang mampu memperbaiki dan mengembangkan suatu sistem.

Pendidikan seharusnya pembekalan dan pembiasaan anak didik untuk dapat hidup bersosial dan bermasyarakat dengan sebaik-baiknya, bukan justru menjauhkan anak dari masyarakatnya.
Kehidupan sosial yang baik, membutuhkan rekayasa sosial. Kehidupan sosial masyarakat jika dibiarkan cenderung akan terjadi berbagai kerusakan. Sesuatu yang baik di masyarakat membutuhkan usaha yang keras baik berupa penyuluhan dan terutama pendidikan yang dilakukan oleh dunia pendidikan. Pendidikan harus laksanakan sehingga masyarakat khususnya anak-anak kita memiliki kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan yang baik dimulai dari keluarga, sekolah dan masyarakat harus ditumbuhkan serta dijaga, hukum yang ada juga harus melindungi kebiasaan-kebiasaan yang baik dan memberikan hukuman kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Sekolah sebagai media pembiasaan kepribadian yang baik juga harus memberikan penghargaan dan hukuman, sehingga anak didik kita terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Sejak dini semestinya anak didekatkan dengan masyarakat dan kebiasaan-kebiasaan yang baik, sehingga kebiasaan yang baik menjadi bagian dari kepribadian anak didik kita. Oleh karena itu menjauhkan anak dengan masyarakatkan sangatlah keliru dari sisi pendidikan karena pada akhirnya mereka akan terjun di masyarakat. Dengan mendekatkan anak dengan masyarakat makan anak akan menjadi bagian dari masyarakat dalam hal kebiasan yang baik.
Masyarakat yang kurang baik tentu saja akan mempengaruhi kepribadian anak kita, maka kebiasaan buruk yang ada di masyarakat harus kita jauhkan dari anak-anak kita. Oleh karena itu orang tua harus memilihkan masyarakat yang menjadikan anak menjadi baik.
Di samping itu kedekatan anak dengan masyarakat juga akan membangun hubungan sosial, yang ke depan hal ini sangat dibutuhkan karena manusia pada prinsipnya tidak dapat hidup sendiri. Hal ini akan memberi dampak positif kepada anak kita ke depan, sehingga anak-anak kita tidak membuat kerugian masyarakatnya, karena dia juga membutuhkan masyarakat, anak kita tidak bersikap egois semaunya sendiri, menangnya sendiri. Anak-anak yang dijauhkan dari masyarakatnya cenderung akan bersikap apatis, merasa tidak butuh orang lain, sehingga diapun tidak suka membantu orang lain, kadang yang keliru adalah orang yang lebih senang bergaul dengan orang yang jauh, justru tidak bergaul dengan masyarakatnya sendiri, padahal jika terjadi sesuatu masyarakat lingkungan sendiri yang dibutuhkan. Bahkan di kehidupan modern saat ini banyak rumah-rumah yang berpagar tinggi, rapat, bahkan diberi pecahan kaca, kawat berduri, satpam dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kejahatan, tetapi di sisi lain juga akan menimbulkan penilaian bahwa rumah sekitarnya tidak aman, atau mencurigai lingkungannya sendiri. Hal ini tentu tidak baik jika dilihat dari sisi hubungan sosial masyarakat.
Yang lebih ngeri saat ini banyak dunia pendidikan kita juga begitu, sangat bangganya sekolah memiliki regol yang kuat dijaga satpam yang serem. Justru banyak terjadi kejahatan yang dilakukan di dalam sekolah, yang masyarakat tidak dapat memantau karena berpagar tinggi dan dijaga dengan ketat, siapa yang rugi? Tentu anak didik dan orangtuanya, dan tentu saja hal ini juga melindungi kejahatan jika terjadi karena masyarakat secara umum tidak mampu melakukan pengawasan tentang apa yang terjadi di dalamnya.

Tata kelola pendidikan jangan hanya mengejar idealisme semu, dimana guru diwajibkan berbagai macam administrasi, seminar, dsb yang justru mengurangi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Guru sebagai pendidik memiliki tugas utama mendidik anak didik. Saat ini tugas guru bertambah apalagi dengan adanya kebijakan sertiifikasi dan adanya Penilaian Kinerja Guru yang sedemikian rupa. Guru memikirkan anak didik saja sudah beban sedemikian berat, apalagi ditambah dengan beban administrasi. Guru menjadi bercabang pemikirannya. Satu sisi dia harus berpikir bagaimana anak didiknya memahami apa yang diajarkan di sisi lain guru dipusingkan oleh kewajiban administrasinya. Guru yang sudah berumur yang kurang dalam penguasaan IT hal ini tentu saja menjadi beban yang berat. Di sisi lain sebagaian guru ada yang mengejar administrasi sehingga mendapatkan nilai yang bagus dari sisi administrasi tetapi guru sering meninggalkan tugasnya mengajar, karena sibuk dengan urusannya sendiri, tentu hal ini mengurangi hak anak mendapatkan pendidikan. Anak didik sering ditinggalkan  dan hanya diberi tugas. Apalagi dengan kurikulum 2013, ada orangtua murid yang mengeluh karena setiap hari selesai sekolah selalu ditanyai anaknya perihal pelajaran di sekolah, bagi orangtua yang berpendidikan tentu tidak masalah, tetapi bagi orangtua yang tidak berpendidikan tentu menjadi masalah, terutama bagi anak-anak SD. Dengan kurikulum terbaru anak disibukkan dengan berbagai tugas dari berbagai mata pelajaran, tentu saja hal ini akan menguras fisik dan mental anak. Anak yang seharusnya mendapatkan penjelasan dari gurunya diharapkan dapat menemukan sendiri. Anak-anak kita seperti dianggap orang dewasa yang mampu memecahkan masalahnya sendiri. Kita sebagai orang dewasa sekalipun sering kali mengalami berbagai kesulitan jika menghadapi masalah, apalagi anak-anak kita. Lalu model apakah pendidikan yang seharusnya diterapkan tentu hal ini menjadi pemikiran terus para ahli sehingga ditemukan model pendidikan yang tepat bagi anak-anak kita.

Kesimpulan
1.    Pendidikan seharusnya memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi guru untuk mentransfer baik ilmu pengetahuan maupun nilai-nilai kebaikan.
2.    Pendidikan berkarakter bukan sekedar muatan kurikulum, tetapi sistemnya yang berkarakter
3.    Pendidikan seharusnya memberikan kenyamanan bagi anak didik dengan penguasaan ilmu pengetahuan (soft skill) serta meningkatnya kemampuan dan ketrampilan menjalani hidup (life skill) serta kenyamanan dan kepastian masa depan.
4.    Pendidikan seharusnya menjadi alat penanaman karakter dan kepribadian yang baik bagi anak didik.
5.    Pendidikan seharusnya memberikan ruang yang cukup kepada anak didik untuk berkreasi.
6.    Pendidikan seharusnya membekali dan pembiasaan anak didik untuk dapat hidup bersosial dan bermasyarakat dengan sebaik-baiknya, bukan justru menjauhkan anak dari masyarakatnya.
7.    Tata kelola pendidikan jangan hanya mengejar idealisme semu, dimana guru diwajibkan berbagai macam administrasi, seminar, dsb yang justru mengurangi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Saran
1.    Dunia pendidikan harus terus berbenah sehingga mendapatkan mutu pendidikan yang diharapkan.
2.    Evaluasi secara menyeluruh mulai dari sistem pendidikan, sampai output yang dihasilkan harus dilakukan.
3.    Banyak tindak kriminal yang terjadi mestinya menjadi bahan perbaikan pendidikan yang ada.
4.    Kita semua tidak boleh apatis, atau menyerahkan pendidikan di sekolah, atau hanya di perguruan tinggi saja, seakan-akan mendidik hanya tugas sekolah saja.

*) Penulis adalah muballigh/Guru Ngaji
Alamat e-mail        : ahmadiasfiya@gmail.com
Website                 : www.ahmadpleret.blogspot.com

Facebook               : www.facebook.com/ahmadi.asfiya.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar